Minggu, 13 April 2008

Sebuah Kenangan

Tanggal 5 Mei 2008 saya diajak oleh teman saya untuk menghadiri sebuah perlombaan dalam rangka memperingati Maulud nabi Muhammad. Mendengar ajakan itu saya langsung menerima dan mengiyakan untuk datang kesana. Tepatnya didesa Tanhungsari, Pedukuhan Gandu Petanahan Kebumen. sesampai disana halaman sebuah Musholla yang dijadikan sebagai tempat perlombaan suidah dipasang tratak lengkap dengan kursi dan sound sistem. Masyarakat berdatangan baik tua, muda anak-anak berlumpul untuk menyaksikan acara itu. Dengan wajah yang lugu dan penuh dengan keceriaan mereka rela menunggu acara perlombaan dimulai.


Oleh teman saya tanpa memberitahu terlebih dahulu, saya di minta untuk menjadi dewan juri lomba pidato. Awalnya saya menolak karena secara pengalaman saya belum pernah menjadi juri lomba pidato. Tetapi karena teman saya terus memaksa dengan secara terpaksapun saya terima paksaan teman saya.
Ini adalah pengalaman baru saya menjadi dewan juri loba pidato. semaksimal mungkin saya mencoba untuk berbuat adil dan obyektif. Walaupun lomba pidato itu bertingkat kecil ( desa ) yang dipanitiai oleh sekumpulan remaja Musholla.'

Saat perlombaan dimulai tiba-tiba hati saya terusik, terenyuh dengan penampilan peserta yang masih berusia sepuluh tahun dengan penuh percaya diri berpidato dengan gayanya yang khas tanpa dibuat-buat. Sesekali nafasnya terengah-engah karena belum bisa mengatur tenpo nafasnya. Dan peserta yang lainpun hampir sama dengannya. Karena mayoritas peserta adalah anak-anak maka tidak heran jika banyak gaya-gayanya yang masih terlihat kekanak-kanakan membuat para penonton terpingkal-terpingkal menahan tawa mereka.

Anak-anak itu lahir dari dunia mereka yang masih asli belum banyak terkontamanisi dengan budaya moderen yang berkembang. Sungguh sangat mengagumkan melihat ekspresi yang lahir dari kejernihan dan kesucian anak-anak tanpa dosa. Sebuah gaya yang masih dalam alam atau dunia mereka sendiri. Seolah-olah mereka ingin menunjukan kalau mereka tidak mau kalah dengan teman-teman mereka yang tampal di layar televisi (contoh:pildacil )

Siapapun tidak akan mengira dan tanpa kita sadari bahwa sebenarnya keberadaan sebuah desa yang letakanya jauh dari keramaian dan hingar bingar segala kehidupan kota menyimpan beragam mutiara yang masih tersimpan dan masih dalam keadaan murni. Mutiara itu perlu untuk dimunculkan kedaratan sehingga orang-orang akan bisa melihat kemilau cahanya.

Mutiara dari pedesaan yang jauh dari kehidupan kota adalah perwujudan dari diri mereka sendiri tanpa ada paksaan ataupun anjuran untuk mengikuti gaya atau ekspresi orang lain. sebagaimana yang terjadi dalam dunia pertelevisian bahwa makin banyak anak-anak yang dieksploitasi untuk kepentingan pribadi dan industri.
Karena tuntutan industri dan pasar seorang anak secara tanpa sadar dipaksa untuk menjadi orang lain, sehingga dalam berproses anak itu tidak berproses dalam sebuah lingkaran yang alami.

Tidak ada komentar: