Sabtu, 02 April 2011

Menggagas Sekolah Pluralis

Pengrusakan terhadap tiga gereja di Temanggung tentu menjadi sebuah kabar yang miring untuk kita dengarkan. Pengrusakan ini selain meresahkan masyarakat Temanggung namun juga meresahkan kita semua sebagai bangsa yang mengakui terhadap keberagaman. Usaha -usaha yang dilakukan oleh beberapa tokoh agama untuk mempersatukan segala perbedaan yang ada sepertinya tidak bermakna sama sekali.

Tindak kekerasan sampai pengrusakan masih saja terjadi di beberapa daerah dengan mengatasnamakan agama. Keberagamaan yang seharusnya dijunjung tinggi justru malah direndahakan akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Bukan hanya orang-orang yang berada disekitar tempat kejadian saja yang rugi namun seluruh bangsa Indonesia merasa terugikan dengan tindakan ini.


Legalitas terhadap beberapa agama yang ada di negara Indonesia belum sepenuhnya memberikan sebuah jaminan untuk bisa memahamkan umatnya akan pentingnya sebuah keberagamaan. Agama masih dipahami sebagai sebuah rutinitas yang berujung pada sebuah balasan yang diberikan oleh Tuhan. Baik itu balasan karena telah berbuat kebaikan ataupu balasan karena telah berbuat dosa dimuka bumi ini.

Formalisasi terhadap lembaga sebuah agama hanya dimaknai sebatas di kulit luarnya saja. Belum pada tingkatan yang lebih dalam. Artinya lembaga yang memfungsikan diri sebagai pengayom masyarakat bukan lagi berisikan kegiatan yang bersifat rutinitas semata. 

Namun sudah harus merambah pada persoalan yang bersifat hubungan sosial antar umat beragama. Ketika fungsi ini sudah berjalan jangan lagi ada sekat-sekat antar umat beragama.

Selain itu juga pemahaman terhadap teks-teks dalam kitab suci perlu dipelajari dan disampaikan secara terperinci. Sehingga umat yang menjadi obyek dari ayat-ayat Tuhan itu semakin memahami bahwa sebenarnya

Tuhan menciptakan manusia adalah untuk saling berhubungan satu sama lain dengan jalan yang baik bukan dengan jalan kekerasa. Salah satu cara untu memahami ayat-ayat Tuhan itu dengan cara mendiskusikan secara bersama dengan golongan yang lain. Baik dalam bentuk formal ataupun dalam prilaku kehidupan sehari-hari.
Pendidikan
Pelajaran agama yang ada disekolah-sekolah formal saat ini sedikit belum memberikan sebuah jaminan kepada peserta didik paham akan segala keberagaman yang ada di negara ini. Termasuk juga memahami akan keberagamaan dengan segala bentuk keyakinan mereka masing-masing.

Hal ini perlu untuk dipikirkan bersama bahwa memahami agama tidak cukup dengan batas waktu dua jam pelajaran dalam satu minggu. Dan bukan hanya mengajarkan bagaimana sebuah rutinitas sebuah agama dijalankan sesuai dengan aturan agama yang berlaku, namun perlu sebuah ruang khusus yang konsen terhadap pendidikan pluralisme ini.

Salah satunya dengan mendirikan sekolah pluralisme. Kurikulum yang berlaku adadalah kurikulum berbasis kebhinekaan. Dimana disekolah ini peserta didik akan diajarkan tentang dasar-dasar perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak-hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. 

Yang paling mendasar dari sekolah ini adalah terciptanya peserta didik yang bisa menghormati dan menghargai terhadap setiap keyakinan yang dimiliki oleh orang lain. Selain diajarkan tentang keberagamaan juga diperkenalkan tentang perbedaan setiap bangsa. Baik itu bahasa, warna kulit, adat istiadat dan hal-hal yang tidak semuanya dimiliki oleh setiap individu.

Peran pendidik ( guru ) juga sangat penting didalam membawa pada alam kesadaran dan prilaku untuk bisa menerima keberagaman yang ada. Karena ditangan pendidik inilah tanggung jawab besar untuk bisa menciptakan generasi -generasi yang bisa membumikan ayat-ayat Tuhan yang plural. Generasi inilah yang nantinya bisa menciptakan memberikan sebuah solusi yang tepat jika muncul perselisiha ditingkatan masyarakat tanpa harus dengan tindak kekerasan. Sekolah pluralisme bisa jadi bukan hanya isapan jempol semata.

Namun gagasan ini lahir dari sebuah kesadaran yang muncul dikarenakan sebuah kenyataan kalau negara ini adalah plural dengan segala bentuk perbedaannya. Selain alasan tersebut juga dikarenakan sudah seringnya tindaka kekerasan yang berujung pertikaian di negeri ini mengatasnamakan agama. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak sesuai dengan dasar negara Indonesia yaitu pancasila yang mengakui akan adanya ketuhanan yang maha esa. Serta negara menjamin terhadap pemeluk agama untuk menjalan ibadahnya sesuai dengan ajaran mereka masing-masing tanpa adanya suatu paksaan dari orang lain.

Tidak ada komentar: