Minggu, 02 Maret 2008

saya, dulu dan sekarang!

Entah benar ataupun salah pengamatan dan penglihatan saya selama ini. Saya merasa sangat prihatin dengan keadaan didesa saya. Desa saya terletak dipinggir kota Kebumen. Desa yang banyak orang dianggap sebagai kota, tetapi saya lebih tertarik dianggap sebagaimana layaknya desa yang penuh dengan kerukunan antar warganya. Penuh dengan suara tangis bayi berebut makanan, ataupun masih adanya seorang ibu yang petan ( mencari kutu kepala) dengan ibu yang lain didepan rumah sambil ngerumpi tentang urusan rumah tangga. sambil petan kedua ibu tersebut membiarkan anak-anaknya bermain tanah liat yang sudah lembek karena disiram dengan air. Tanah liat tersebut kemudian dijadikan adonan roti sehingga tubuh anak-anak itu belepotan karenanya. Mungkin gambaran seperti itulah yang lebih menarik hati saya untuk menganggap desa saya sebagaimana layaknya desa-desa yang lain. Bukan sebagai kampung perkotaan.
Namun dalam kenyataannya saya juga tidak bisa menolak jika desa saya bisa dianggap sebagai kampung perkotaan dengan kearifannya yang semakin terkikis. Lama kelamaan budaya desa kami semakin berkurang dan bisa jadi akan hilang sama sekali.
Kenyataan ini bisa saya gambarkan dengan adanya sikap hidup individualis yang mulai merambah ranah desa. sikap inilah yang menjadikan sikap acuh tak acuh terhadap sesama warga. walupun kita bertetangga dekat, namun ketika bertemu tidak ada senyum ataupun sepatah katapun yang terucap sebagai sikap saling menghargai dengan sesama. Kalu dulu banyak anak-anak kecil bermain petak umpet, gobak sodor setelah sholat mahrib, mungkin sekarang sudah tergantikan dengan tekhnologi moderen. Mereka akan lebih suka menonton televisi dengan menampilkan hiburan-hiburan yang tanpa disadari telah membuat mereka suka dengan budaya instan.
Tanpa kita sadari kita telah kehilangan budaya kita sebagai warga Indonesia yang penuh dengan keramahan dan kesopanan. Entah benar atau tidak ( Maaf ). Perkembangan zaman boleh berubah tapi alangkah baiknya jika budaya kita sendiri tetap dipertahankan hingga anak cucu kita kelak. Bagaimana kalau kita menengok sebentar kepada negara Jepang yang telah merubah dirinya menjadi Rajanya Tekhnologi didunia namun masih tetap mempertahankan jati dirinya dengan kebudayaannya yang terus terjaga. Bagaimana dengan Indonesia? hanya kita sendiri yang tahu.

Tempat itu Bernama Masjid

Pengalaman saya ini mungkin kerap kali pernah dialami oleh orang banyak. Terutama ketika bepergian jauh keluar kota yang memakan waktu lebih dari tiga jam mungkin. Dengan menggunakan kendaraan pribadi saya pergi ke Cilacap. memang tidak terlalu lama perjalanan dari Kebumen menuju kota Cilacap. Dengan menggunakan sepeda motor kami bisa menempuh perjalanan lebih cepat dari waktu biasanya dua jam, yaitu satu jam setengah. Karena waktu Ashar hampir habis kami menyempatkan untuk sholat ashar disebuah masjid dipinggir jalan. Tepatnya di kecamatan Sumpyuh. Saat melihat pertama kali seolah -olah saya membayangkan berada disebuah kota di Timur Tengah, dengan gaya arsitektur mirip dengan bangunan Masjid di Kairo. sungguh indah dengan sebuah kubah yang besar dihiasi dengan tulisan kaligrafi berwarna sangat menawan. Beralaskan keramik yang tentunya sangat mahal. Akan tetapi ada sebuah perasaan yang membuat saya gundah dengan bangunan yang sangat menawan. Saya melihat hanya beberapa saja yang sholat dimasjid tersebut. Terlihat seperti tidaka ada kegiatan-kegiatan yang menarik untuk menghidupkan ruh Masjid sebagai tempat Ibadah. Mungkin pengalaman diatas banyak kita jumpai tidak hanya dikota-kota besar yang sibuk dengan segala aktifitasnya. Tapi di pedesaanpun banyak kita jumpai Masjid/ Musholla/ Langgar dengan bangunannya yang sangat megah dan indah namun sepertinya hampir sama, tempat-tempat itu sepi dari adanya kegiatan ataupun aktifitas yang bisa mengembalikan kepada fungsi semula. kalau kita lihat lebih jauh pada zaman Nabi Muhammad, Masjid tidak hanya digunakan untuk sholat saja. Akan tetapi digunakan juga untuk bermusyawarah segala urusan masyarakat sekitar. Baik itu orang Islam ataupun non muslim. Ibarat seperti Menara gading yang tinggi, masjid saling bersaing dalam wajah dan penampilan. sementara isi dan ruhnya telah hilang. Bisa dipastikan bahwa fungsi tempat ibadah lama kelamaan akan semakin hilang seiring dengan perubahan jaman. Masjid hanya dijadikan sebagai tempat menjalankan rutinitas belaka seperti yang sudah-sudah. Seharusnya fungsi Masjid lebih dari sebagai tempat menjalankan hubungan vertikal, akan tetapi masjid dan tempat ibadah yang lain bisa digunakan untuk berdiskusi, bermusyawarah memecahkan masalah masyarakat yang ada sekarang.