Entah benar ataupun salah pengamatan dan penglihatan saya selama ini. Saya merasa sangat prihatin dengan keadaan didesa saya. Desa saya terletak dipinggir kota Kebumen. Desa yang banyak orang dianggap sebagai kota, tetapi saya lebih tertarik dianggap sebagaimana layaknya desa yang penuh dengan kerukunan antar warganya. Penuh dengan suara tangis bayi berebut makanan, ataupun masih adanya seorang ibu yang petan ( mencari kutu kepala) dengan ibu yang lain didepan rumah sambil ngerumpi tentang urusan rumah tangga. sambil petan kedua ibu tersebut membiarkan anak-anaknya bermain tanah liat yang sudah lembek karena disiram dengan air. Tanah liat tersebut kemudian dijadikan adonan roti sehingga tubuh anak-anak itu belepotan karenanya. Mungkin gambaran seperti itulah yang lebih menarik hati saya untuk menganggap desa saya sebagaimana layaknya desa-desa yang lain. Bukan sebagai kampung perkotaan.
Namun dalam kenyataannya saya juga tidak bisa menolak jika desa saya bisa dianggap sebagai kampung perkotaan dengan kearifannya yang semakin terkikis. Lama kelamaan budaya desa kami semakin berkurang dan bisa jadi akan hilang sama sekali.
Kenyataan ini bisa saya gambarkan dengan adanya sikap hidup individualis yang mulai merambah ranah desa. sikap inilah yang menjadikan sikap acuh tak acuh terhadap sesama warga. walupun kita bertetangga dekat, namun ketika bertemu tidak ada senyum ataupun sepatah katapun yang terucap sebagai sikap saling menghargai dengan sesama. Kalu dulu banyak anak-anak kecil bermain petak umpet, gobak sodor setelah sholat mahrib, mungkin sekarang sudah tergantikan dengan tekhnologi moderen. Mereka akan lebih suka menonton televisi dengan menampilkan hiburan-hiburan yang tanpa disadari telah membuat mereka suka dengan budaya instan.
Tanpa kita sadari kita telah kehilangan budaya kita sebagai warga Indonesia yang penuh dengan keramahan dan kesopanan. Entah benar atau tidak ( Maaf ). Perkembangan zaman boleh berubah tapi alangkah baiknya jika budaya kita sendiri tetap dipertahankan hingga anak cucu kita kelak. Bagaimana kalau kita menengok sebentar kepada negara Jepang yang telah merubah dirinya menjadi Rajanya Tekhnologi didunia namun masih tetap mempertahankan jati dirinya dengan kebudayaannya yang terus terjaga. Bagaimana dengan Indonesia? hanya kita sendiri yang tahu.
Namun dalam kenyataannya saya juga tidak bisa menolak jika desa saya bisa dianggap sebagai kampung perkotaan dengan kearifannya yang semakin terkikis. Lama kelamaan budaya desa kami semakin berkurang dan bisa jadi akan hilang sama sekali.
Kenyataan ini bisa saya gambarkan dengan adanya sikap hidup individualis yang mulai merambah ranah desa. sikap inilah yang menjadikan sikap acuh tak acuh terhadap sesama warga. walupun kita bertetangga dekat, namun ketika bertemu tidak ada senyum ataupun sepatah katapun yang terucap sebagai sikap saling menghargai dengan sesama. Kalu dulu banyak anak-anak kecil bermain petak umpet, gobak sodor setelah sholat mahrib, mungkin sekarang sudah tergantikan dengan tekhnologi moderen. Mereka akan lebih suka menonton televisi dengan menampilkan hiburan-hiburan yang tanpa disadari telah membuat mereka suka dengan budaya instan.
Tanpa kita sadari kita telah kehilangan budaya kita sebagai warga Indonesia yang penuh dengan keramahan dan kesopanan. Entah benar atau tidak ( Maaf ). Perkembangan zaman boleh berubah tapi alangkah baiknya jika budaya kita sendiri tetap dipertahankan hingga anak cucu kita kelak. Bagaimana kalau kita menengok sebentar kepada negara Jepang yang telah merubah dirinya menjadi Rajanya Tekhnologi didunia namun masih tetap mempertahankan jati dirinya dengan kebudayaannya yang terus terjaga. Bagaimana dengan Indonesia? hanya kita sendiri yang tahu.